oleh : Hamam Nasrudin*
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan paling mulia dibanding dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Allah SWT berfirman,
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”
(QS. Al Isra: 70)
Urgensi Kepribadian Islami
Menjadi
pribadi yang Islami merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam agama
Islam. Hal ini karena Islam itu tidak hanya ajaran normatif yang hanya diyakini
dan dipahami tanpa diwujudkan dalam kehidupan nyata, tapi Islam memadukan dua
hal antara keyakinan dan aplikasi, antara norma dan perbuatan , antara keimanan
dan amal saleh. Oleh sebab itulah ajaran yang diyakini dalam Islam harus
tercermin dalam setiap tingkah laku, perbuatan dan sikap pribadi-pribadi
muslim.
Memang,
setiap jiwa yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Tapi bukan berarti kesucian
dari lahir itu meniadakan upaya untuk membangun dan menjaganya, justru karena
telah diawali dengan fitrah itulah, jiwa tersebut harus dijaga dan dirawat
kesuciannya dan selanjutnya dibangun agar menjadi pribadi yang islami.
Ruang Lingkup Kepribadian Islami
Sisi
yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sebagai berikut:
A. Ruhiyah (Ma’nawiyah)
Aspek
ruhiyah adalah aspek yang harus mendapatkan perhatian khusus oleh setiap
muslim. Sebab ruhiyah menjadi motor utama sisi lainnya, hal ini bisa kita simak
dalam firman Allah SWT di Surat Asy-Syams : 7-10
“Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketaqwaannya. Sungguh sangat beruntung orang yang mensucikannya dan sungguh
merugilah orang yang mengotorinya,” (QS. Asy Syams: 7-10).
Dan
dalam surat Al Hadid ayat 16:
“Belumkah
datang waktunya untuk orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka
berdzikir kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka dan
janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab
di dalamnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ”
QS. Al-Hadid:16).
Ayat-ayat
di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya untuk senantiasa
menjaga ruhiyah, kerugian yang besar bagi orang yang mengotorinya dan
peringatan keras agar kita meninggalkan amalan yang bisa mengeraskan hati.
Bahkan tarbiyah ruhiyah adalah dasar dari seluruh bentuk tarbiyah, menjadi
pendorong untuk beramal saleh dan dia juga memperkokoh jiwa manusia dalam
menyikapi berbagai problematika kehidupan.
Aspek-aspek
yang sangat terkait dengan ma’nawiyah seseorang adalah:
a.
Aspek Aqidah. Ruhiyah yang baik akan melahirkan aqidah yang lurus dan
kokoh, dan sebaliknya ruhiyah yang lemah bisa menyebabkan lemahnya aqidah.
Padahal aqidah adalah suatu keyakinan yang akan mewarnai sikap dan tingkah laku
seseorang. Oleh sebab itu kalau ingin aqidahnya terbangun dengan baik maka
ruhiyahnya harus dikokohkan. Jadi ruhiyah menempati posisi yang sangat penting
dalam kehidupan seorang muslim karena dia akan mempengaruhi bangunan aqidahnya.
b.
Aspek akhlaq. Akhlaq adalah bukti tingkah laku dari nilai yang diyakini
seseorang. Akhlaq merupakan bagian penting dari keimanan. Akhlaq juga salah
satu tolok ukur kesempurnaan iman seseorang. Terawatnya ruhiyah akan membuahkan
bagusnya akhlaq seseorang. Allah swt dalam beberapa ayat senantiasa
menggandengkan antara iman dengan berbuat baik. Rasulullah saw pun ketika
ditanya tentang siapakah yang paling baik imannya ternyata jawab Rasulullah saw
adalah yang baik akhlaqnya (“ahsanuhum khuluqan”)
أي المؤمنين افضل إيمانا ؟ قال احسنهم خلقا. رواه ابو داود والترمذى والنسائ والحاكم.
“Mukmin mana yang paling baik imannya?
Jawab Rasulullah ” yang paling baik akhlaqnya” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan
Nasa’i)
Bahkan
diutusnya Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- pun untuk menyempurnakan
akhlaq manusia sehingga menjadi akhlaq yang islami
َ إًَِنما بعثت لأتمم مكا رم الأخلاق
Tolok
ukur dan patokan baik dan tidaknya akhlaq adalah al-Qur’an. Itulah sebabnya
akhlaq keseharian Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- merupakan cerminan
dari Al-Qur’an yang beliau yakini. Hal ini terbukti dari jawaban Aisyah ra
ketika ditanya tentang bagaimana akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa
sallam- , jawab beliau “Akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam-
adalah al-Qur’an.
كان خلقه القرآن
c.
Aspek tingkah laku. Tingkah laku adalah cerminan dari akhlaq yang
melekat pada diri seseorang….
B. Fikriyah (‘Aqliyah)
Kepribadian
Islami juga ditentukan oleh sejauh mana kokoh dan tidaknya aspek fikriyah.
Kejernihan fikrah, kekuatan akal seseorang akan memunculkan amalan, kreativitas
dan akan lebih dirasa daya manfaat seseorang untuk orang lain. Fikrah yang
dimaksud meliputi:
a.
Wawasan keislaman. Sebagai seorang muslim menjadi keniscayaan bagi dia
untuk memperluas wawasan keislaman. Sebab dengan wawasan keislaman akan
memperkokoh keyakinan keimanan dan daya manfaat diri untuk orang lain.
b.
Pola pikir islami. Pola pikir islami juga harus dibangun dalam diri
seorang muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan bersumber
pada satu sumber yaitu kebenaran dari Allah swt. Islam sangat menghargai kerja
pikir ummatnya. Di dalam al-Qur’an pun sering kita jumpai ayat ayat yang
menganjurkan untuk berpikir: “afala ta’qiluun, afala tatafakkaruun,
la’allakum ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun,”
افلا تعقلون ,أفلا تذكرون, افلا تتفكرون, لعلكم تعقلون,لعلكم تذكرون
Seorang
muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan fenomena
alam untuk dipikirkan, beraneka macamnya tingkah laku manusia sampai adanya
aneka pemikiran dan pemahaman manusia hendaknya menjadi pemikiran seorang
muslim. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir
tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah –subhânahu wa
ta`âlâ- bukan sebaliknya.
c.
Disiplin (tepat) dan tetap (tsabat) dalam berislam. Sungguh kehidupan
ini tidak terlepas dari ujian, rintangan dan tantangan serta hambatan. Ujian
tersebut tidak akan berakhir sebelum nafasnya berakhir. Oleh sebab itulah untuk
menghadapinya perlu tsabat dalam berpegang pada syariat Allah swt.
“dan sembahlah Tuhanmu sampai datang
kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)
Di
surat Ali Imran: 102 Allah SWT menjelaskan,
“Wahai orang-orang yang beriman
bertaqwalah kamu sebenar-benar taqwa. Dan jangan sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)
Begitu
pentingnya tsabat dijalan Allah, sampai Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa
sallam- mengajarkan do’a kepada ummatnya, sebagai berikut:
اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك (رواه الترمذى)
“Wahai
Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hati-hati kami untuk tetap berada
pada agamaMu “
C. Amaliyah (Harokiyah)
Di
antara sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sisi amaliyahnya.
Amaliyah harakiah yang merubah kehidupan seorang mukmin menjadi lebih baik. Hal
ini penting sebab amaliyah adalah satu di antara tiga tuntutan iman dan Islam
seseorang. Tiga tuntutan tersebut adalah: al-iqror bil- lisan (ikrar
dengan lisan), at-tashdiq bil-qalb ( meyakini dengan hati), dan al-amal
bil jawarih (beramal dengan seluruh anggota badan). Jadi tidak cukup
seseorang menyatakan beriman tanpa mewujudkan apa yang diyakininya dalam bentuk
amal yang nyata.
“Maka katakanlah “beramallah kamu
niscaya Allah dan RasulNya serta orang-orang beriman akan melihat amalanmu itu.
Dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakanNya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.
at-Taubah: 105)
Umat
Islam dituntut oleh Allah –subhânahu wa ta`âlâ- untuk menunaikan sejumlah amal,
baik yang bersifat individual maupun yang kolektif bahkan kewajiban yang
sistemik. Kewajiban individual akan lebih khusyu’ dan lebih baik pelaksanaannya
jika ditunjang dengan sistem yang kondusif. Shalat, puasa , zakat dan haji
misalnya akan lebih baik dan lebih khusyu’ kalau dilaksanakan di tengah suasana
yang aman tenteram dan kondusif. Apalagi kewajiban yang bersifat sistemik
seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad dsb, mutlak memerlukan
ketersediaan perangkat sistem yang memungkinkan terlaksananya amal tersebut.
Pentingnya
amaliyah harakiah dalam kehidupan seorang mukmin laksana air. Semakin banyak
air bergerak dan mengalir semakin jernih dan semakin sehat air tersebut.
Demikian juga seorang muslim semakin banyak amal baiknya, akan semakin banyak
daya untuk membersihkan dirinya, sebab amalan yang baik bisa menjadi penghapus
dosa. Simaklah QS. Huud: 114
“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi
siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam, sesungguhnya perbuatan
yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk (dosa), itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat”. (QS. Huud: 114)
Ada
sedikitnya tiga alasan kenapa seorang harus beramal:
1.
Kewajiban diri pribadi.
Sebagai
hamba Allah tentunya harus menyadari bahwa dirinya diciptakan bukan untuk hal
yang sia-sia. Baik jin dan manusia Allah ciptakan untuk tujuan yang amat mulia
yaitu untuk beribadah, menghamba kepada Allah –subhânahu wa ta`âlâ-. Amalan
adalah bentuk refleksi dari rasa penghambaan diri kepada Dzat yang mencipta.
“Dan
tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah” (QS. Adz
Dzaariyaat: 56)
Di
samping itu pertanggungjawaban di depan mahkamah Allah nanti bersifat individu.
Setiap individu akan merasakan balasan amalan diri pribadinya.
“Dan bahwasanya manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.Dan bahwasanya
usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan
kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (QS. an-Najm: 39-41).
2.
Kewajiban terhadap keluarga.
Keluarga
adalah lapisan kedua dalam pembentukan ummat. Lapisan ini akan memiliki
pengaruh yang kuat baik dan rusaknya sebuah ummat. Oleh sebab itulah seseorang
dituntut untuk beramal karena terkait dengan kewajiban dia membentuk keluarga
yang Islami, sebab tidak akan terbentuk masyarakat yang baik tanpa melalui
pembentukan keluarga yang baik dan islami.
“Hai
orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim :6)
Setiap
muslim seharusnya mampu membentuk keluarga yang berkhidmat untuk Islam, seluruh
anggota keluarga terlibat dalam amal islami di seluruh bidang kehidupan.
3.
Kewajiban terhadap dakwah.
Beramal
haraki bagi seorang muslim bukan hanya atas tuntutan kewajiban diri dan
keluarganya saja, akan tetapi juga karena tuntutan dakwah. Islam tidak hanya
menuntut seseorang saleh secara individu tapi juga saleh secara sosial.
“dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:71)
“dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS.
Ali Imran: 104)
Ma’ruf
adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar
ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Juga
di dalam surat Fushshilat ayat 33:
“siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan
berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS.
Fushshilat: 33)[hanamaicha]
*penulis adalah pendidik di SMK Farmasi Al
Sya’iriyah Limpung, pernah aktif di Lembaga Pers Mahasiswa IAIN walisongo
Semarang
Post a Comment