Tamu

PENDIDIKAN PEMBEBASAN BERBASIS PENDEWASAAN (ikhiyar mengatasi problem Pendidikan kekinian)

Oleh : Hamam Nasrudin*


I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah upaya sadar dalam rangka mewujudkan dan membentuk pribadi manusia seutuhnya, pendidikan adalah sebuah proses menciptakan pribadi manusia yang berguna bagi masyarakat, agama dan bangsa serta bertaqwa kepada tuhan YME. Dalam Undang-Undang Nomor 12  tahun 1954 menerangkan bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.[1] Dalam GBPP juga dijelaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Seutruhnya dalam arti keutuhan antara dua dimensi, yakni dimensi jasmani dan rohani. Pendidikan merupakan derivasi (turunan dari) education (inggris) attarbiyah ta’dib ta’lim (arab) eja wantah (jawa) menunjuk adanya proses yang berkesinnambungan dalam diori manusia. Dan proses tersebut meliputi keseluruhan unsur baik kognitif, afektif dan psikomotorik. Jika proses tidak berjalan secara simultan, maka yang terjadi adalah split personality (diri yang terpisah ) pada setiap orang. Dalam mengejawantahkan tujuan pendidikan tersebut, dibutuhkan sebuah pelaksana pendidikan dalam hal ini adalah lembaga pendidikan sebagai bagian dari kesinambungan sebuah proses pendewasaan yang dalam hal ini adalah lembaga pendidikan formal seperti  Sekolah ataupun madrasah.
II. PEMBAHASAN
Potret Realitas Pendidikan Indonesia
Di awal telah jelas bahwa pendidikan mempunyai fungsi dan peran yang amat vital sebab pendidikan  adalah kerja membangun peradaban yang berfungsi memproduksi kader bangsa yang berkualitas, merdeka dan berdaulat baik secara agama, politik dan budaya. Dan proyek peradaban ini diatur dan berlandaskan pada uud 1945 dan uu system pendidikan nasional sebagai alat legitimasi dalam pelaksanannya. Namun apa yang di harapkan tidak pernah tercapai, disini dapat di inventarisir beberapa problem problem akut dalam duniapendidikan :
a.       Tingginya Angka Putus Sekolah
data yang diperoleh menyatakan bahwa dari 42 juta usia wajib belajar hanya 32,9 % yang dapat lulus atau sampai\ akhir dan 64,5 % gagal dan putus ditengah jalan.angka ini cukup menggambarkan bahwa pendidikan di Indonesia dari perspektif pemerataan msih jauh dari apa yang dicita-citakan[2] 
b.      Dehumanisasi Pendidikan[3]
Pendidikan kini menjadi alat untuk bisnis yang mengedepankan nilai ekonomis dn keuntungan kaum modal.sehingga tak jarang orsng tua harus berfikir ulang ketika akanmemasukkan anaknya kesebuah lembaga pendidikan karena mengingat biaya yang kian melambung tinggi.
c.       sarana yang memprihatinkan
di sekolah-sekolah yang jauh dari pusat peradaban, tak jarang ditemukan lokasi dan bangunan gedung yang talk layak untuk melakukan proses pendidikan, bahkan secara kasar dapat di ungkapkan gedung mereka tak layaknya seperti kandang kambing.
d.      kejahatan dalam pendidikan
kejahatan erat kaitanya dengan perilaku birokrasi yang korup, kasus jual beli gelar, kasus suap (di wilayah birokrat) dan tawuran, narkoba dan lain sebagainya masih mengentara dilingkungan pendidikan kita.
e.       problem structural
hal ini dapat dilihat dari unsure pemerintah, pelaksana pendidikan, institusi dan lembaga. Maupun individu yang pada masing-masing masih menyisakan permasalahan-permasalahan yang butuh penyelesaian.
Disorientasi Dalam Dunia Pendidikan
Dalam perkembanganya, lembaga pendidikan semakin larut dalam arus globalisasi yang semakin tidak menentu arah dan tujuanya. Hingga apa yang dicita-citakan dalam proses pendidikan sebagai wujud pendewasaan bagi manusia mengalami reduksi dan simplifikasi yang cukup significant, hal ini disinyalir bahwa sekolah kini menjadi kepanjangan dari agen kapitalisme[4] yang menjadikan produk pendidikan hanya dijadikan sebagai pemenuhan berbagai mesin kerja produksi kapitalisme, pendidikan atau sekolah kini di sederhanakan menjadi alat untuk menciptakan manusia pintar ini dan pintar itu sesuai pesanan. Hal ini jelas “mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya” seperti yang terurai dalam tujuan dan khakekat pendidikan kini dikhianati.
”SEKOLAH itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah,” begitu kata Ivan Ilich. Kecaman sinis ini hingga saat ini bukanlah sekadar ungkapan apriori terhadap sekolah. Ia menjadi mantra yang hidup dan menantang bagi para pemikir pendidikan.
Kata-kata itu menjadi berbobot bukanlah sekadar ungkapannya yang bertendensi pada sikap asal nyleneh, melainkan didasarkan fakta yang melatarbelakanginya. Ilich saat itu melihat semua bentuk sekolah di berbagai negara telah terjebak pada semangat berpikir yang didasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan formal sekolah. Implikasi dari dominasi keduanya ini kemudian melahirkan suatu corak pendidikan yang hanya sekadar menjadi agen reproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi gender, relasi rasisme, dan sistem relasi kekuasaan.
Relasi itulah yang kemudian memunculkan sikap ketidakpercayaan pada netralitas pendidikan oleh para pemikir kritis radikal seperti Frantz Fanon, Paulo Freire, Antonio Gramsci, dan Ivan Ilich. Mereka menganggap bahwa segala macam bentuk pemikiran tidaklah berdiri sendiri seperti yang diasumsikan para pemikir liberal. Ia hadir dari sebuah prosesi sejarah dan selalu terkait dengan situasi zaman saat pemikiran itu ada.[5]
Memang, dalam tataran kognitif objektivitas menjadi sebuah keabsahan bagaimana netralitas ilmu pengetahuan tetap harus diposisikan. Pemikiran itu juga menegaskan bahwa masalah yang terjadi di masyarakat bukanlah terkait dengan persoalan politik ekonomi yang ada. Oleh sebab itu, orientasi pendidikan tidak bisa dihubungkan dengan keadaaan ekonomi politik di luar pendidikan.
Objektivikasi mengacu pada asumsi independensi sesuatu yang berdiri sendiri. Dalam bidang pemikiran, ia menjadi keharusan untuk lepas dari asumsi yang lahir dari segala macam bentuk pemikiran sebelumnya. Ia juga menjadi antitesis daripada asumsi-asumsi teologis zaman pertengahan yang selalu didominasi mistisime gereja (agama). Menjadi keharusan di sini adalah fakta dan data (empirisme) sebagai sebuah argumen untuk menyimpulkan segala sesuatu.
Lantas, apa yang salah dari pemikiran ini? Dalam tafsiran kritis, kata objektivikasi ini tidak ada salahnya, bahkan ia tetap harus dijadikan titik dasar metode penalaran terhadap realita. Namun, ketika ia diletakkan pada soal makro berkaitan dengan latar belakang pemikirannya, yang terjadi adalah wujud keharmonisan antara ide dan materi.
Ide menurut paham kritis adalah suatu bentuk premis dan kesimpulan yang dalam faktanya (bukan yang seharusnya) akan selalu terkait dengan persoalan yang melingkupinya. Oleh karenannya, pemikiran macam apa pun objektivnya ia menjadi sebuah entitas yang tidak mandiri dari realita sosial. ”Netralitas” ini pula oleh kalangan pemikir kritis radikal dikritik sebagai pemikiran yang tidak bertanggung jawab sekaligus terjebak pada arus hegemoni ideologi dominan kapitalisme. ”Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran aliran positivisme”. (Fakih Mansour, 1999:22)
Konsepsi keberpihakan pendidikan ini sesungguhnya juga menjadi kritis solusi kaum liberal yang naif melihat maju atau mundurnya sebuah masyarakat hanya didasarkan aspek mentalitas. Terkait dengan kepentingan ekonomi politik modal di atas, adalah suatu kewajaran bila kita mengingat ketika Presiden Megawati yang kita ketahui sangat lunak dengan program dan kebijakan ekonomi IMF dan Bank Dunia ini tanpa merasa berdosa kemudian mengatakan bahwa betapa soal mentalitas yang pada gilirannya juga menampilkan kadar disiplin sosial yang rendah bagi bangsa kita (Kompas, 2/5/2002).
Ketidaknetralan pendidikan ini rasanya amat sulit diterima oleh kalangan pemikir liberal termasuk di Indonesia. Independensi pendidikan yang dikembangkan oleh para pemilik modal selama masa Orde Baru setidaknya adalah wujud keberhasilan the dominant ideology (pembangunanisme) IMF dan Bank Dunia dalam melakukan transaksi investasi kebijakan arus modal. Ini juga yang kemudian banyak menyingkirkan peran pemikir kritis seperti Arief Budiman dan Sritua Arief untuk cukup puas menggagas ide di luar jalur kekuasaan.
III. ANALISIS
Solusi Alternatif; Apa sesungguhnya pendidikan kritis?
Di atas telah diuraikan posisi pendidikan berkaitan dengan persoalan relasi sosialnya beserta kritik pemikiran kritis radikal terhadap kenetralan pendidikan aliran liberal/positivisme. Pertanyaan kemudian, apa sesungguhnya pendidikan kritis ini?[6]
Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Pendidikan haruslah berbentuk suatu usaha yang mengarah pada cita-cita ideal/positif bagi umat manusia. Ia berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, strata gender, kemiskinan, marginalisasi kaum bawah dan penyelewengan HAM, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil[7].
Menuju Pendidikan Yang Memanusiakan
Lebih idealnya, Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia yang telah mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial yang menindas (Pedagogi of the Opresed, New York 1986:67). Ia juga melakukan kritik terhadap kapitalisme dan mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demo-kratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan.[8]
Oleh karena itu, pendidikan dalam mainstream ini adalah media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi sosial. Perangkat pisau analisis yang dipakai dalam memahami kontradiksi sosial adalah perspektif kelas. Analisis kelas ini lebih memfokuskan pada relasi struktur sosial, ketimbang hanya memfokuskan pada korban eksploitasi. Dengan demikian, yang menjadi agenda utama pendidikan kritis adalah tidak sekadar menjawab kebutuhan praktis untuk mengubah kondisi golongan miskin, terbelakang, namun juga (meminjam istilah Antonio Gramsci) adalah melakukan counter hegemoni dan counter wacana terhadap ideologi sosial yang telah mengakar dalam keyakinan.
Metode praksis
Metode praksis yang dipakai dalam persoalan ini bertitik tolak dari model pendidikan di luar kebanyakan sekolah formal yang kini banyak kita saksikan. Kalau pedagogi kita kenal sebagai manajemen mendidik anak, metode yang dipakai pendidikan kritis adalah andragogi yang dikenal sebagai mendidik orang dewasa.
Perbedaan keduanya sangat mencolok. Walaupun pedagogi bukan hanya seni mendidik anak dalam kategori usia, kebanyakan kita menyaksikan model ini dipakai oleh sistem sekolah kita. Pengertiannya adalah menempatkan murid sebagai anak-anak yang dianggap masih kosong dari ilmu pengetahuan. Ibarat botol kosong, ia perlu diisi dan setelah penuh, sang murid telah dianggap lulus/selesai.
Konsekuensi metode ini adalah menempatkan peserta didik secara pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek dan guru menjadi subjek. Guru mengurai, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi murid dievaluasi. Kegitan belajar ini me-nempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran[9]
Berbalik dari itu, andragogi adalah pendidikan pendekatan orang ”dewasa” yang menempatkan murid sebagi subjek dari sistem pendidikan. Knowles (1970), menggambarkan murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan, mampu mengambil manfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, me-nganalisis dan meyimpulkan, serta mampu mengambil manfaat dari pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai ”fasilitator”, bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat multicomunication dan seterusnya.[10]
Itulah yang diharapkan dari Ivan Ilich saat pendidikan kemudian sebagai sarana bagi ajang kreativitas minat dan bakat peserta. Visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi kebutuhan yang pokok ketika kita masih punya satu cita-cita tentang bagimana pentingnya membangun kehidupan yang humanis
Melawan Pendidikan Yang Menindas Dan Membodohkan[11]
Paulo Friere memandang bahwa pendidikan model sekarang justru semakin terjebak kewilayah komersialisasi pendidikan , sehingga apa yang terjadi adalah yang miskin semakin miskin karena takkan pernah mamapu memeproleh kesepatan untuk menikmati bangkusekolah sementara yang kaya bebas memilih ke sekolah mana yang ia suka sesuai dengan selera. Dan dalam jangka waktu tertentu pendidikan justru melanggengkan pemiskinan, ketidak adilan, pro status quo dan memapankan struktur social yang ada. Bagi beliau, penindasan teerhadap harkat kemanusiaan dan ketidakadilan mutlak untuk dilawan, khususnya melalui pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, bukan merobotkan ataupun menghewankan manusia, prosesnya dilakukan secara dialogis.l guiru dan murid adalah dua pihak yang sama-sama melakukan pencarian pengetahuan. Karena menjadi tahumelalui pendidikan adalah roses yang tak pernah berakhir, karenanya menjadi tahu bukan akhir dari sebuah pendidikan. Dan pedidikan tanpa dialog sama saja dengan penindasan model baru, karna mematikan kreativitas dan potensi pemikiran cerdas yang biasa muncul, tidak saja dari kalangan pendidik  tetapi juga dari kalangan peserta didik. .

IV. KEIMPULAN


Pendidikan adalah upaya sadar dalam rangka mewujudkan dan membentuk pribadi manusia seutuhnya, pendidikan adalah sebuah proses menciptakan pribadi manusia yang berguna bagi masyarakat, agama dan bangsa serta bertaqwa kepada tuhan YME
pendidikan bertujuan untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Seutuhnya dalam arti keutuhan antara dua dimensi, yakni dimensi jasmani dan rohani.
beberapa problem pendidikan diantaranya adalah, Tingginya Angka Putus Sekolah, Dehumanisasi Pendidikan, sarana yang memprihatinkan, kejahatan dalam pendidikan, problem structural
Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Pendidikan haruslah berbentuk suatu usaha yang mengarah pada cita-cita ideal/positif bagi umat manusia. Ia berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, strata gender, kemiskinan, marginalisasi kaum bawah dan penyelewengan HAM, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil
Perlunya dilakukan upaya menciptakan pendidikan yang mampu membebaskan dari ketertindasa, keterbelakngan, dan kebodohan dengan melakukan pembenahan diberbagai bidang baik dataran teknis, system maupun orientasinya.


V. PENUTUP

Demikian karya ilmiah ini kami susun, penulis yakin, masih banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat dimana-mana, karena keterbatasan kemampuan dan kapasitas, oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan kedepan. Semoga bermanfaat, amien.


*penulis adalah : pendidik di SMK Al Sya'iriyah Limpung & pembina lembaga pers Siswa di SMK Al Sya'iriyah Limpung  



DAFTAR PUSTAKA

v  Danamjaya, Utomo, “Sekolah Gratis, Esai-Esai Pendidikan yang Membebaskan”, Jakarta: Paramadina, 2002. Purwanto,.M.Ngalim Drs, Ilmu Pendidikan; Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002
v  Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, Jogjakarta:Lkis, 2002.Danamjaya, Utomo, “Sekolah Gratis, Esai-Esai Pendidikan yang Membebaskan”, Jakarta: Paramadina, 2002.
v  Illich, Ivan , Menggugat Pendidikan, Dalam Kumpulan Tulisan Para Tokoh Pendidikan, Jogjakarta: Lkis, 2000. Prasetyo, Eko, Anak Miskin dilarang Sekolah, Resist Book, Jogjakarta, 2004.
v  Jurnal EDUKASI , Pendidikan Islam Kritis, Penerbit LPM Edukasi Fakultas Tarbiyah  volume I Nomor I, januari, 2004
v  _______________, Deinstitusionalisasi Pendidikan Penerbit LPM Edukasi Fakultas Tarbiyah  volume II Nomor I, September, 2004
v  Prasetyo, Eko, Anak Miskin dilarang Sekolah, Resist Book, Jogjakarta, 2004.
v  Purwanto,.M.Ngalim Drs, Ilmu Pendidikan; Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002 \
v   (Seri PENDIDIKAN POPULAR, 1999:












[1] Drs.M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan; Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002, Hlm  27
[2] Utomo Danamjaya, “Sekolah Gratis, Esai-Esai Pendidikan Yang Membebaskan” Paramadina, Jakarta 2002. hlm 6
[3] Eko Prasetyo, Anak Miskin dilarang Sekolah, Resist Book, Jogjakarta, 2004. Hlm 47
[4] Kapitalisme merupakan suatu ideology yang menempatkan individu sebagai sentral dari brbagai aktivitas. Kapitalis asi memandang brbagai persoalan dengan pertimbanagan untung rugi, rasional dan objektif
[5] utomo danamjaya, Ibid, hlm 42
[6] Pendidikan Islam Kritis,  Jurnal EDUKASI, Penerbit LPM Edukasi Fakultas Tarbiyah  volume I Nomor I, januari, 2004 . hlm 22
[7] Pendidikan Islam Kritis, Ibid.  hlm 34
[8] Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, Lkis, Jogjakarta, 2002. hlm 97
[9] (Seri Pendidikan Popular, 1999:24
[10] menggugat pendidikan, Ivan Illich, dalam kumpulan tulisan para tokoh pendidikan, lkis, jogjakarta, 2000. hlm 132
[11] Deinstitusionalisasi Pendidikan,  Jurnal EDUKASI, Penerbit LPM Edukasi Fakultas Tarbiyah  volume II Nomor I, September, 2004. hlm 123
IT by SMK Al Syai'riyah | Distributed by Fasya